Rabu, 18 Mei 2011

ngawi anak negeri

Pekerjaan tangan yang paling sederhana sekalipun,
Demi mempertahankan harga diri seseorang,
Jauh lebih utama daripada kekayaan yang disertai penyelewengan.
(Imam Ali)

Kesedihan apa lagi yang harus kita tanggung setelah puluhan bencana memukul kita dengan hebat. Kecelekaan yang menewaskan nyawa ratusan orang bukan hanya membuat kita sedih tapi frustasi. Kita tidak saja kurang percaya dengan keselamatan angkutan tapi juga mulai bertanya, siapa yang kemudian patut dituntut tanggung jawab. Sedangkan banjir lumpur belum tuntas kita kemudian dihentakkan lagi dengan tenggelamnya kapal di perairan laut Jawa. Rasa kasihan maupun prihatin seperti kepalan tangan yang mulai tak punya tenaga dan kekuatan. Bencana yang datang beruntun bukan lagi dipahami sebagai ujian tapi kesalahan ulah tangan-tangan manusia. Tentu bukan sembarang manusia, tapi kumpulan makhluk yang punya kekuasaan dan menyelewengkannya dengan cara sewenang-wenang.

Itulah yang kita saksikan dengan sikap ‘tak tahu malu’ para pejabat! Seorang menteri di Jepang bersedia mundur ketika ada kecelakaan yang menewaskan puluhan orang.
Seorang petinggi-setingkat Perdana Menteri-di Korea bisa mundur hanya karena bermain golf ketika banjir melanda sebuah kecamatan. Mereka seakan tahu kalau tindakan, perangai serta tanggung-jawabnya membuat dirinya merasa ‘enggan’ untuk tetap bertahan di kursi kekuasaan. Bagi mereka kekuasaan itu amanat dan tanggung jawab. Kejadian sebaliknya terjadi disini! Jabatan seperti sebuah tongkat sihir yang harus dipegang erat-erat. Dengan tongkat itu maka semua keistimewaan, perlindungan dan kelimpahan material datang menyongsong. Kalau ada rakyat yang luka dan merupakan bagian tanggung jawabnya; cukup si menteri mengatakan itu sebagai ‘musibah’ dan mereka akan berusaha ‘seolah-olah’ menanganinya. Kekuasaan disini, dari dulu hingga sekarang, hanya berisi para badut yang bisa bermain ‘peran’ sesuai dengan situasi.

Perangai ‘badut’ itu disuguhkan dengan antusias oleh media: saat ada bencana secara berbondong-bondong para penguasa datang untuk kemudian menyapa, bersalaman dan menebar janji. Mereka berkata dengan paras muka-seakan-akan-sedih sembari tetap meyakinkan pada korban kalau situasinya tak seburuk yang diduga. Dan janji seperti sebuah jabatan yang dengan gampang dikhianati. Katanya beri bantuan tetapi masih saja memakai persyaratan. Katanya memberi jaminan tapi masih menuntut prosedur. Kekuasaan kini bukan hanya gagal untuk menentramkan tapi juga berhasil membuat rakyat untuk putus asa dengan keadaan. Saksikan bagaimana nasib korban lumpur yang hingga saat ini belum ketahuan ujung pangkalnya. Walau semua orang tahu siapa pemilik pabrik yang ‘memproduksi lumpur’ tapi hukum sepertinya takut untuk menerkam dan memenjarakannya. Taring hukum hanya berani ‘menangkap’ mereka yang berjenggot dan tak punya kedudukan.

Parlemen juga bersikap sama. Mereka masih saja sibuk menimbun tambahan gaji dan terus-menerus menambah bini. Seakan-akan urusan rakyat tak bisa dibereskan kalau uang untuk mereka tidak terus ditambah. Dalih kalau gaji naik maka akan terjadi peningkatan kinerja seperti bualan busuk yang bosan kita dengar! Kualitas parlemen yang semacam ini tentu tak akan mungkin memiliki nyali untuk berbuat banyak apalagi memikirkan kepentingan banyak rakyat. Tentu ada sedikit orang yang masih insaf untuk berpikir benar tapi kekuatan mereka tak memadai dibanding dengan komplotan bandit yang selalu sibuk studi banding kesana-kemari. Jika ada survai yang menyatakan, kalau korupsi parlemen tetap tertinggi, itu bukan berita tapi pengumuman ulang dari pandangan umum publik yang sudah lama tahu. Sebab bukan hanya miskin prestasi tapi parlemen juga krisis figur: mereka seakan hanya kumpulan manusia mujur yang mendapat keuntungan karena busuknya zaman.

Keadaan ini tak bisa lagi didiamkan. Kepercayaan kita pada hukum hanya jadi bualan ketika yang jahat dan kaya dapat lolos dari jerat keadilan. Keyakinan kita pada demokrasi hanya omong kosong ketika parlemen maupun kekuasaan hanya berisi para badut yang hanya bisa buat dalih serta kebohongan. Kita butuh cara pandang dan pemecahan baru yang lebih memberi ‘keyakinan dan harapan’ terhadap masa depan. Mungkin yang pertama perlu kita pikirkan adalah ‘cara dan mekanisme’ yang selama ini ada dalam memilih para penguasa. Mengapa berkali-kali pemilu kita salah memilih pemimpin maupun wakil rakyat. Begitu bodohkah rakyat hingga gampang sekali ditipu? Begitu naifkah publik hingga berulang kali salah dalam memilih penguasa dan wakilnya? Atau jangan-jangan kita dihukum oleh takdir sejarah untuk selalu mendapat penguasa yang lalim, bodoh dan mudah berkhianat? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dilontarkan karena kepercayaan kita terhadap mekanisme politik maupun pemilihan memang saatnya untuk digugat kembali!

Pemimpin sepatutnya bukan hanya kita kenal juga bisa dikritik dan diganti kalau menyeleweng. Kepemimpinan yang kini berjalan tidak lagi menjalankan fungsi ini: dikritik bisa tidak diindahkan, diganti menunggu pemilihan! Tak bisa lagi mekanisme kepemimpinan mengandalkan sistem yang naif seperti sekarang: kita bisa meniru Venezuela dimana pemimpin bisa direferendum oleh rakyatnya jika tak becus mengelola rakyat; kita bisa meniru Iran dimana calon pemimpin bisa muncul dari kalangan independen; kita bisa meniru India dimana pemimpin adalah orang yang bisa kita kenal dekat dan dapat kita sentuh. Kepemimpinan politik di negara-negara diatas memang tidak lagi mengandalkan kharisma tetapi bagaimana pemimpin bisa ‘berbuat dan bertindak’ sesuai dengan program rakyat. Pemimpin bukan jadi pelayan dari agen-agen uang tapi berpihak untuk kepentingan mayoritas rakyat yang miskin dan tersingkir.

Sama halnya dengan parlemen dimana rakyat punya hak untuk ‘memecatnya’. Rakyat perlu tahu bahwa gaji, uang, mobil bahkan pakaian yang melekat di tubuh parlemen adalah milik rakyat. Jadi alangkah bodoh jika ada anggota Parlemen yang selalu sulit ditemui oleh rakyat. Parlemen-kasarnya-adalah budak rakyat! Kita waktunya untuk membuat sistem yang membuat si ‘budak’ ini tak terlampau jauh dari kebutuhan dan kepentingan rakyat. Parlemen sebaiknya memiliki kewajiban sebagai pelayan rakyat: melaporkan kekayaan rutinya pada rakyat, memberitahukan pekerjaanya pada rakyat dan bersedia untuk dipecat oleh rakyat jika pekerjaanya tidak menguntungkan rakyat! Bukan orang yang selalu berjanji untuk kemudian berkhianat pada rakyat.

Waktunya kita memikirkan sistem alternatif untuk menghindarkan rakyat dari penipuan para politisi zalim. Sistem alternatif ini berangkat dari kegagalan atas mekanisme politik yang selama ini ada. Kegagalan, keluhan, keraguan itu penting untuk dijawab dalam konteks gerakan: kita tak akan pernah bisa memahami kegagalan dari sistem politik sekarang tanpa menjadi korban dan bagian dari kekuatan yang melawan penindasan. Maka menjadi kewajiban bagi kekuatan perubahan untuk tidak sekedar menumbangkan sistem politik ini secepatnya tapi juga membangun sistem politik alternatif yang bisa memberi rakyat ‘jaminan dan kepastian’ akan datangnya keadilan, pemerataan dan perubahan nasib yang nyata. Rakyat bosan dengan ulasan, janji atau harapan: rakyat membutuhkan tindakan nyata yang berdampak pada perubahan. Hanya dengan tindakan malapetaka bisa dihindarkan dan nasib perubahan bisa dijemput secepatnya. Mari kita bergerak!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tv online kami

KEMISKINAN ADALAH SEBUAH HUKUMAN BAGI KEJAHATAN YANG TIDAK PERNAH KITA LAKUKAN
ROSO RUMONGSO NGRUMANGSANI.SABAR NARIMO NGALAH LOMAN
<FONT FACE="georgia" color="YELLOW"> NGULAT SARIRO HANGROSO WANI
TERIMA KASIH TELAH MENGUNJUNGI BLOG KAMI..SEMOGA BERMANFAAT.